Kamis, 14 November 2013

“ Problematika Pendidikan di Indonesia”


Pendidikan merupakan sebuah dasar dimana setiap orang pasti akan merasakannya, walaupun bukan di tempat formal sekalipun. Sejatinya pendidikan memiliki sebuah makna sangat dalam yaitu “memanusiakan manusia secara utuh, sebagai sebuah langkah menciptakan generasi perubahan yang berjiwa jujur, bijak, bermoral dan bertanggung jawab. Pendidikan bertujuan sebagai sebuah dasar dimana seorang anak memiliki pengetahuan akan arah kemana hidupnya melangkah. Selain itu pendidikan juga bertujuan menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan di masa depan. Hal ini terjadi akibat tuntutan zaman yang hadir dalam kehidupan.
Selain itu, tujuan pendidikan yang paling penting bukan hanya dalam hal pembangunan melainkan juga kearifan moral yang dimiliki oleh manusia. Karena manusia yang utuh adalah manusia yang bermoral. Apa artinya pembangunan tanpa adanya moral dalam diri manusia. Jika dalam pendidikan moral tidak diajarkan dan tidak dipahami oleh setiap insan, maka akan lahirlah manusia-manusia yang ahli dalam membangun namun memiliki hati yang keji dan selalu mementingkan diri sendiri. Dan hal yang akan terjadi adalah terciptanya pribadi yang berhati kotor, menghalalkan segala cara hanya demi hedonisme dunia yang semu seperti:  korupsi, kolusi, nepotisme, muncul kesenjangan sosial, bahkan bila terus-menerus dibiarkan maka akan terjadi kapitalisme dan sikap liberalisme. Hal yang demikian inilah mengapa pendidikan diperlukan.
Demikian pula dengan masalah pendidikan di Indonesia mulai dari kurangnya sarana dan prasarana sekolah, tenaga pengajar yang kurang profesional, dan berbagai hal lain yang masih menjadi persoalan masalah pendidikan di Indonesia yang tak pernah rampung. Adanya hal seperti ini memang menjadi prioritas pemerintah sebagai seorang pemimpin, pemerintah memang tak  tinggal diam mulai dari pembaharuan kurikulum yang masih simpang siur, pembekalan tenaga profesional hingga hal lainnya. Namun, problematika ini seakan hanya seperti layangan yang di tarik ulur tanpa ada kepastian dan titik temu dari permasalahan pendidikan. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang menjadikan pendidikan di Indonesia tak pernah memperlihatkan titik temu, diantaranya adalah ;

1.    Pemerataan Kesempatan Pendidikan

Masalah pertama pendidikan Indonesia adalah kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan.  Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar.   Data  Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam (Binbaga) Departemen Agama tahun 2000 me-nunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.    Kegagalan pem-binaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

2.    Relevansi Pendidikan

Masalah kedua dalam dunia pendidikan Indonesia adalah ren-dahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan.  Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur.  Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%.  Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.  Adanya ketidakserasian antara hasil pen-didikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. 

3.    Mutu Pendidikan
Masalah ketiga yang dihadapi pendidikan nasional adalah rendahnya mutu pendidikan.  Indikator rendahnya mutu pendidikan nasional dapat dilihat pada prestasi siswa.  Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah.  Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).  Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memer-lukan penalaran.  Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.  Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika.  Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik  di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
Indikator lain yang menunjukkan betapa rendahnya mutu pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun.  Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 pada tahun 1996, ke-99 tahun 1997, ke-105 tahun 1998,  dan ke-109 tahun 1999.  Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia.
Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum, Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvai di dunia.  Dan masih me-nurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Rendahnya mutu pendidikan Indonesia terkait dengan kualitas guru dan pengajar yang masih rendah juga.  Data Balitbang Dep-diknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas.  Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas.  Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas.  Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).  Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pen-didikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pen-didikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
Arif Rahman (pakar pendidikan) menyatakan bahwa penghasilan sebagai guru Indonesia sangatlah rendah, bahkan, tambahnya, gaji guru lebih rendah dari penghasilan sebagai seorang supir.  Pendapat tersebut didukung pula oleh Anwar Arifin (Wakil ketua Komisi VI DPR-RI) yang menekankan perlunya peningkatan kesejahteraan guru.
Pendapat yang agak berbeda disampaikan oleh Boediono, Kepala Balitbang Depdiknas, yang mengungkapkan bahwa dalam hal peningkatan kesejahteraan guru hendaknya jangan hanya dilihat dari satu sisi saja.  Menurutnya guru itu dapat dipandang dari dua sisi yaitu sebagai buruh dan guru sebagai profesi.  Katanya, “Mengenai guru sebagai tenaga kerja, guru itu buruh, dan untuk itu memang tingkat kesejahteraannya harus dinaikkan.” Tapi masih menurutnya bahwa tidak semua orang yang menjadi guru itu hanya bermotivasi pada uang penghasilan saja.  Ada juga orang yang menjadi guru karena sudah merupakan cita-citanya ingin menjadi guru.
Akan tetapi, terlepas dari pandangan guru sebagai profesi seperti pendapat Boediono tadi, sebagai manusia biasa guru tentunya memerlukan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi secara layak.  Apalagi pada masa krisis sekarang ini, dimana harga-harga barang melonjak tinggi.  Penghasilan menjadi guru kurang untuk mencukupi kebutuhan hidup  secara layak.  Dan dikhawatirkan banyak anak-anak, terutama anak-anak yang pintar, tidak mau menjadi guru.  Hal ini berbahaya bagi pen-didikan Indonesia di masa mendatang. 

4.    Efisiensi

Masalah keempat yang dihadapi adalah masih rendahnya efisiensi pendidikan nasional.  Rendahnya efisiensi pengelolaan pendidikan dapat dilihat dari : penyebaran guru yang tidak merata, terjadinya putus sekolah di semua jenjang pendidikan, bangunan fisik gedung sekolah yang cepat rusak dalam waktu yang pendek, jam belajar yang tidak efektif dan optimal, dan pengalokasian dana pendidikan yang tidak fleksibel.  berat.
Masalah lain yang berkaitan dengan efisiensi adalah masalah masih rendahnya anggaran pen-didikan terhadap APBN.  Sampai tahun 2000 pengalokasian anggaran pendidikan hanya sebesar 6,3 persen dari APBN, jauh lebih rendah dari Korea, Thailand, Malaysia, dan Singapura yang menganggarkan tidak kurang dari 20 persen dari APBN masing-masing.  Padahal berdasarkan penilaian KKT Pem-bangunan Sosial di Kopenhagen pada 1995 menganjurkan agar anggaran sebesar 20 persen dari total APBN digunakan untuk pembangunan sosial serta 15 persen untuk pen-didikan.  Sementara UNESCO me-nyarankan agar anggaran sektorpendidikan minimal 4 persen dari GDP.

Jumat, 18 Oktober 2013

“Tarik Ulur Masalah Pendidikan di Indonesia yang Tak Pernah Rampung”

Pendidikan merupakan sebuah dasar dimana setiap orang pasti akan merasakannya, walaupun bukan di tempat formal sekalipun. Sejatinya pendidikan memiliki sebuah makna sangat dalam yaitu “memanusiakan manusia secara utuh, sebagai sebuah langkah menciptakan generasi perubahan yang berjiwa jujur, bijak, bermoral dan bertanggung jawab. Pendidikan bertujuan sebagai sebuah dasar dimana seorang anak memiliki pengetahuan akan arah kemana hidupnya melangkah. Selain itu pendidikan juga bertujuan menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan di masa depan. Hal ini terjadi akibat tuntutan zaman yang hadir dalam kehidupan.
Selain itu, tujuan pendidikan yang paling penting bukan hanya dalam hal pembangunan melainkan juga kearifan moral yang dimiliki oleh manusia. Karena manusia yang utuh adalah manusia yang bermoral. Apa artinya pembangunan tanpa adanya moral dalam diri manusia. Jika dalam pendidikan moral tidak diajarkan dan tidak dipahami oleh setiap insan, maka akan lahirlah manusia-manusia yang ahli dalam membangun namun memiliki hati yang keji dan selalu mementingkan diri sendiri. Dan hal yang akan terjadi adalah terciptanya pribadi yang berhati kotor, menghalalkan segala cara hanya demi hedonisme dunia yang semu seperti:  korupsi, kolusi, nepotisme, muncul kesenjangan sosial, bahkan bila terus-menerus dibiarkan maka akan terjadi kapitalisme dan sikap liberalisme. Hal yang demikian inilah mengapa pendidikan diperlukan.
Demikian pula dengan masalah pendidikan di Indonesia mulai dari kurangnya sarana dan prasarana sekolah, tenaga pengajar yang kurang profesional, dan berbagai hal lain yang masih menjadi persoalan masalah pendidikan di Indonesia yang tak pernah rampung. Adanya hal seperti ini memang menjadi prioritas pemerintah sebagai seorang pemimpin, pemerintah memang tak  tinggal diam mulai dari pembaharuan kurikulum yang masih simpang siur, pebekalan tenaga profesional hingga hal lainnya. Namun, problematika ini seakan hanya seperti layangan yang di tarik ulur tanpa ada kepastian dan titik temu dari permasalahan pendidikan. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang menjadikan pendidikan di Indonesia tak pernah memperlihatkan titik temu, diantaranya adalah ;

1.    Masalah Kurikulum
 
Kurikulum kita yang dalam jangka waktu singkat selalu berubah-ubah tanpa ada hasil yang maksimal dan masih tetap saja. Yang jelas, menteri pendidikan berusaha eksis dalam mengujicobakan formula pendidikan baru dengan mengubah kurikulum. Perubahan kurikulum yang terus-menerus, pada pratiknya kita tidak tau apa maksudnya dan yang beda hanya bukunya. Contohnya guru, banyak guru honorer yang masih susah payah mencukupi kebutuhannya sendiri. Kegagalan dalam kurikulum kita juga disebabkan oleh kurangnya pelatihan skill, kurangnya sosialisasi dan pembinaan terhadap kurikulum baru. Elemen dasar ini lah yang menentukan keberhasilan pendidikan yang kita tempuh.

2.    Masalah Biaya 

Banyak masyarakat yang memiliki persepsi pendidikan itu mahal dan lebih parahnya banyak pula pejabat pendidikan yang ngomong, kalau pengen pendidikan yang berkualitas konsekuensinya harus membayar mahal. Pendidikan sekarang ini seperti diperjual-belikan bagi kalangan kapitalis pendidikan dan pemerintah sendiri seolah membiarkan saja dan lepas tangan. Apa mereka sudah mengenyam pendidikan? Akhir-akhir ini pemerintah dalam sistem pendidikan yang baru akan membagi pendidikan menjadi dua jalur besar, yaitu jalur formal standar dan jalur formal mandiri. Pembagian jalur ini berdasarkan perbedaan kemampuan akademik dan finansial siswa. Ironis sekali bila kebijakan ini benar-benar terjadi.
   
3.    Masalah Tujuan pendidikan

Bicara kalau pendidikan itu mencerdaskan, tapi kenyataannya pendidikan itu menyesatkan. Lihat saja kualitas pendidikan kita hanya diukur dari ijazah yang kita dapat. Padahal sekarang ini banyak ijazah yang dijual dengan mudahnya dan banyak pula yang membelinya untuk kepentingannya sendiri dengan mindset  kenikmatan hedonisme yang semu.

4.    Masalah Disahkannya RUU BHP menjadi Undang- Undang 

DPR RI telah mensahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) menjadi Undang-Undang. Namun, disahkannya UU BHP ini banyak menuai protes dari kalangan mahasiswa yang khawatir akan terjadinya komersialisasi dan liberalisasi terhadap dunia pendidikan. Segala aspirasi dan masukan, sudah disampaikan kepada Pansus. RUU BHP. UU BHP ini akan menjadi kerangka besar penataan organisasi pendidikan dalam jangka panjang.

5.    Masalah Kontroversi diselenggaraknnya UN

UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik. Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN.

Masalah-masalah di atas merupakan hal yang sampai saat ini belum menemui titik temu pemecahan masalah yang konkrit dalam pendidikan di Indonesia. Oleh karena itulah, kenapa pendidikan di Indonesia hanya seperti tarik ulur dalam bermain layangan tidak menemui titik kerampungan yang jelas. Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai.
Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan adanya kondisi tersebut, bila tetap  tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada.
Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin.
Referensi;
http://www.artikelbagus.com/2012/12/masalah-pendidikan.html#ixzz2htssbX4f
the filsuf of arin

Kegalauan Globalisasi Positif ataukah Negatif ?


1.    Pengertian Globalisasi
Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi dapat dirasakan oleh masyarakat umum baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan lain sebagainya. Dampak globalisasi ini terjadi karena adanyanya perkembangan zaman yang kian hari kian merambak. Kehadiran globalisasi tentunya membawa sebuah dampak bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Dampak tersebut meliputi dua sisi yaitu dampak positif dan dampak negatif. Hal inilah yang akan menjadi problematika mengenai nasionalisme bangsa Indonesia.
Salah satu faktor pendukung utama globalisasi adalah jelas dengan berkembangnya kemajuan ilmu pengetahuan dan  teknologi informasi. Dengan berkembangnya teknologi dan informasi akses akan segala hal yang dibutuhkan oleh masyarakat semakin cepat dan mudah. Oleh karena itulah, globlalisasi tidak dapat kita hindari. Globalisasi merupakan sebuah sistem yang menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga banyak orang yang terjerumus dalam sikap “terserah saya” hal ini menjadikan timbulnya sikap tidak peduli dan cuek terhadap orang lain.
2.    Sebab dari Timbulnya Globalisasi

a.    Kebijakan negara untuk berhubungan dan menjalin kerja sama dengan negara lain.
Dengan adanya kebijakan seperti ini secara tidak langsung globalisasi masuk dalam bidang ekonomi di Indonesia. Contohnya : kerjasama APEC

b.    Faktor masuknya nilai budaya luar yang datang ke indonesia secara tidak langsung menggerus nilai-nilai kemurnian pancasila.
Ambilah saja sebuah contoh kebudayaan K-POP yang marak dan melenakan remaja indonesia khususnya kaum hawa dewasa ini. Baik dalam cara berpakaian, kebudayaan, cara bersikap dan kesopanan.


c.    Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan kemudahan dalam bidang teknologi dan informasi.
Tidak dapat dipungkiri kecanggihan TIK menjadi salah satu aspek masuknya globalisasi. Contohnya saja maraknya jejaring sosial yang muncul dan menjadikan remaja khususnya remaja indonesia selalu menggunakan jejaring sosial itu setiap hari dalam meng-up date apapun yang dialaminya.

d.    Berkembang pesatnya perusahaan-perusahaan transnasional.
Perusahaan transnasional adalah perusahaan yang memproduksi barang atau jasa lebih dari satu negara.

3.    Akibat atau Dampak dari Globalisasi
Berbagai hal yang timbul akibat pengaruh globalisasi tentu saja menimbulkan dampak dan memberikan sumbangsih besar dalam pola kehidupan khususnya bagi bangsa Indonesia. Dampak yang timbul dalam globalisasi dapat dilihat dari dua sisi yaitu dampak positif dan negatif dan diantaranya adalah sebagai berikut :
a.    Dampak Positif Globalisasi

1)    Ditinjau dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.

2)    Ditinjau dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.

3)    Ditinjau dari aspek globalisasi sosial budaya, kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa.

b.    Dampak Negatif Globalisasi

1)    Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tersebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang.

2)    Ditinjau globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.

3)    Anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.

4)    Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.

5)    Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.


Jika dilihat dari dampak positif dan negatifnya yang ditimbulkan ternyata, lebih banyak dampak negatif yang terjadi akibat berkembangnya globalisasi. Hal inilah yang akan menimbulkan problematika dan kegalauan terhadap kehidupan nasionalisme bangsa khususnya Indonesia. Globalisasi yang sejatinya menjadi pencerah dalam kehidupan ekonomi, politik dan sosial-budaya justru malah membuat tergerusnya kemurnian nilai-nilai pancasila akibat salahnya interpretasi yang di implementasikan oleh pemerintah dan masyarakat yang lebih menjadikan liberalisme dan barat sebagai kiblat.
Globalisasi yang berlandaskan liberalisme menjadikan Indonesia mudah terjerumus dan teriming-imingi kenikmatan semu yang di dengar dari pendapat negara lain yang notabennya memang menganut paham liberalisme. Dalam hal ini pemerintah dan masyarakat seharusnya dapat mengkaji dan menyaring tindakan-tindakan yang lebih bijak agar tidak mudah terjerumus dalam kenikmatan semu globalisasi. Pemerintah jangan hanya manut ketika diajak bekerja sama dengan asing hanya karena keuntungan yang besar, cara yang lebih bijak adalah memverifikasi terlebih dahulu positif dan negatif yang akan terjadi jika kerja sama dilakukan. Jangan ketika kerja sama berlangsung masyarakat Indonesia merasa dirugikan akan sumber daya alam yang di eksploitasi oleh asing dan menjadikan bangsa yang kaya ini malah hanya menjadi penonton bahkan pecundang ketika sumber daya alamnya di keruk oleh negara lain.
Referensi  
Jamli, Edison dkk.Kewarganegaraan.2005.Jakarta: Bumi Akasara
Krsna @Yahoo.com. Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.2005.internet:Public Jurnal
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews