Pendidikan merupakan sebuah dasar dimana setiap orang pasti akan merasakannya, walaupun bukan di tempat formal sekalipun. Sejatinya pendidikan memiliki sebuah makna sangat dalam yaitu “memanusiakan manusia secara utuh, sebagai sebuah langkah menciptakan generasi perubahan yang berjiwa jujur, bijak, bermoral dan bertanggung jawab. Pendidikan bertujuan sebagai sebuah dasar dimana seorang anak memiliki pengetahuan akan arah kemana hidupnya melangkah. Selain itu pendidikan juga bertujuan menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan di masa depan. Hal ini terjadi akibat tuntutan zaman yang hadir dalam kehidupan.
Selain itu, tujuan pendidikan yang paling penting bukan hanya dalam hal pembangunan melainkan juga kearifan moral yang dimiliki oleh manusia. Karena manusia yang utuh adalah manusia yang bermoral. Apa artinya pembangunan tanpa adanya moral dalam diri manusia. Jika dalam pendidikan moral tidak diajarkan dan tidak dipahami oleh setiap insan, maka akan lahirlah manusia-manusia yang ahli dalam membangun namun memiliki hati yang keji dan selalu mementingkan diri sendiri. Dan hal yang akan terjadi adalah terciptanya pribadi yang berhati kotor, menghalalkan segala cara hanya demi hedonisme dunia yang semu seperti: korupsi, kolusi, nepotisme, muncul kesenjangan sosial, bahkan bila terus-menerus dibiarkan maka akan terjadi kapitalisme dan sikap liberalisme. Hal yang demikian inilah mengapa pendidikan diperlukan.
Demikian pula dengan masalah pendidikan di Indonesia mulai dari kurangnya sarana dan prasarana sekolah, tenaga pengajar yang kurang profesional, dan berbagai hal lain yang masih menjadi persoalan masalah pendidikan di Indonesia yang tak pernah rampung. Adanya hal seperti ini memang menjadi prioritas pemerintah sebagai seorang pemimpin, pemerintah memang tak tinggal diam mulai dari pembaharuan kurikulum yang masih simpang siur, pembekalan tenaga profesional hingga hal lainnya. Namun, problematika ini seakan hanya seperti layangan yang di tarik ulur tanpa ada kepastian dan titik temu dari permasalahan pendidikan. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang menjadikan pendidikan di Indonesia tak pernah memperlihatkan titik temu, diantaranya adalah ;
1. Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Masalah pertama pendidikan Indonesia adalah kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam (Binbaga) Departemen Agama tahun 2000 me-nunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pem-binaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
2. Relevansi Pendidikan
Masalah kedua dalam dunia pendidikan Indonesia adalah ren-dahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pen-didikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
3. Mutu Pendidikan
Masalah ketiga yang dihadapi pendidikan nasional adalah rendahnya mutu pendidikan. Indikator rendahnya mutu pendidikan nasional dapat dilihat pada prestasi siswa. Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memer-lukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda. Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
Indikator lain yang menunjukkan betapa rendahnya mutu pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 pada tahun 1996, ke-99 tahun 1997, ke-105 tahun 1998, dan ke-109 tahun 1999. Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia.
Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum, Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvai di dunia. Dan masih me-nurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Rendahnya mutu pendidikan Indonesia terkait dengan kualitas guru dan pengajar yang masih rendah juga. Data Balitbang Dep-diknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3). Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pen-didikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pen-didikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
Arif Rahman (pakar pendidikan) menyatakan bahwa penghasilan sebagai guru Indonesia sangatlah rendah, bahkan, tambahnya, gaji guru lebih rendah dari penghasilan sebagai seorang supir. Pendapat tersebut didukung pula oleh Anwar Arifin (Wakil ketua Komisi VI DPR-RI) yang menekankan perlunya peningkatan kesejahteraan guru.
Pendapat yang agak berbeda disampaikan oleh Boediono, Kepala Balitbang Depdiknas, yang mengungkapkan bahwa dalam hal peningkatan kesejahteraan guru hendaknya jangan hanya dilihat dari satu sisi saja. Menurutnya guru itu dapat dipandang dari dua sisi yaitu sebagai buruh dan guru sebagai profesi. Katanya, “Mengenai guru sebagai tenaga kerja, guru itu buruh, dan untuk itu memang tingkat kesejahteraannya harus dinaikkan.” Tapi masih menurutnya bahwa tidak semua orang yang menjadi guru itu hanya bermotivasi pada uang penghasilan saja. Ada juga orang yang menjadi guru karena sudah merupakan cita-citanya ingin menjadi guru.
Akan tetapi, terlepas dari pandangan guru sebagai profesi seperti pendapat Boediono tadi, sebagai manusia biasa guru tentunya memerlukan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi secara layak. Apalagi pada masa krisis sekarang ini, dimana harga-harga barang melonjak tinggi. Penghasilan menjadi guru kurang untuk mencukupi kebutuhan hidup secara layak. Dan dikhawatirkan banyak anak-anak, terutama anak-anak yang pintar, tidak mau menjadi guru. Hal ini berbahaya bagi pen-didikan Indonesia di masa mendatang.
4. Efisiensi
Masalah keempat yang dihadapi adalah masih rendahnya efisiensi pendidikan nasional. Rendahnya efisiensi pengelolaan pendidikan dapat dilihat dari : penyebaran guru yang tidak merata, terjadinya putus sekolah di semua jenjang pendidikan, bangunan fisik gedung sekolah yang cepat rusak dalam waktu yang pendek, jam belajar yang tidak efektif dan optimal, dan pengalokasian dana pendidikan yang tidak fleksibel. berat.
Masalah lain yang berkaitan dengan efisiensi adalah masalah masih rendahnya anggaran pen-didikan terhadap APBN. Sampai tahun 2000 pengalokasian anggaran pendidikan hanya sebesar 6,3 persen dari APBN, jauh lebih rendah dari Korea, Thailand, Malaysia, dan Singapura yang menganggarkan tidak kurang dari 20 persen dari APBN masing-masing. Padahal berdasarkan penilaian KKT Pem-bangunan Sosial di Kopenhagen pada 1995 menganjurkan agar anggaran sebesar 20 persen dari total APBN digunakan untuk pembangunan sosial serta 15 persen untuk pen-didikan. Sementara UNESCO me-nyarankan agar anggaran sektorpendidikan minimal 4 persen dari GDP.
Selain itu, tujuan pendidikan yang paling penting bukan hanya dalam hal pembangunan melainkan juga kearifan moral yang dimiliki oleh manusia. Karena manusia yang utuh adalah manusia yang bermoral. Apa artinya pembangunan tanpa adanya moral dalam diri manusia. Jika dalam pendidikan moral tidak diajarkan dan tidak dipahami oleh setiap insan, maka akan lahirlah manusia-manusia yang ahli dalam membangun namun memiliki hati yang keji dan selalu mementingkan diri sendiri. Dan hal yang akan terjadi adalah terciptanya pribadi yang berhati kotor, menghalalkan segala cara hanya demi hedonisme dunia yang semu seperti: korupsi, kolusi, nepotisme, muncul kesenjangan sosial, bahkan bila terus-menerus dibiarkan maka akan terjadi kapitalisme dan sikap liberalisme. Hal yang demikian inilah mengapa pendidikan diperlukan.
Demikian pula dengan masalah pendidikan di Indonesia mulai dari kurangnya sarana dan prasarana sekolah, tenaga pengajar yang kurang profesional, dan berbagai hal lain yang masih menjadi persoalan masalah pendidikan di Indonesia yang tak pernah rampung. Adanya hal seperti ini memang menjadi prioritas pemerintah sebagai seorang pemimpin, pemerintah memang tak tinggal diam mulai dari pembaharuan kurikulum yang masih simpang siur, pembekalan tenaga profesional hingga hal lainnya. Namun, problematika ini seakan hanya seperti layangan yang di tarik ulur tanpa ada kepastian dan titik temu dari permasalahan pendidikan. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang menjadikan pendidikan di Indonesia tak pernah memperlihatkan titik temu, diantaranya adalah ;
1. Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Masalah pertama pendidikan Indonesia adalah kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam (Binbaga) Departemen Agama tahun 2000 me-nunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pem-binaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
2. Relevansi Pendidikan
Masalah kedua dalam dunia pendidikan Indonesia adalah ren-dahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pen-didikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
3. Mutu Pendidikan
Masalah ketiga yang dihadapi pendidikan nasional adalah rendahnya mutu pendidikan. Indikator rendahnya mutu pendidikan nasional dapat dilihat pada prestasi siswa. Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memer-lukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda. Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
Indikator lain yang menunjukkan betapa rendahnya mutu pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 pada tahun 1996, ke-99 tahun 1997, ke-105 tahun 1998, dan ke-109 tahun 1999. Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia.
Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum, Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvai di dunia. Dan masih me-nurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Rendahnya mutu pendidikan Indonesia terkait dengan kualitas guru dan pengajar yang masih rendah juga. Data Balitbang Dep-diknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3). Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pen-didikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pen-didikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
Arif Rahman (pakar pendidikan) menyatakan bahwa penghasilan sebagai guru Indonesia sangatlah rendah, bahkan, tambahnya, gaji guru lebih rendah dari penghasilan sebagai seorang supir. Pendapat tersebut didukung pula oleh Anwar Arifin (Wakil ketua Komisi VI DPR-RI) yang menekankan perlunya peningkatan kesejahteraan guru.
Pendapat yang agak berbeda disampaikan oleh Boediono, Kepala Balitbang Depdiknas, yang mengungkapkan bahwa dalam hal peningkatan kesejahteraan guru hendaknya jangan hanya dilihat dari satu sisi saja. Menurutnya guru itu dapat dipandang dari dua sisi yaitu sebagai buruh dan guru sebagai profesi. Katanya, “Mengenai guru sebagai tenaga kerja, guru itu buruh, dan untuk itu memang tingkat kesejahteraannya harus dinaikkan.” Tapi masih menurutnya bahwa tidak semua orang yang menjadi guru itu hanya bermotivasi pada uang penghasilan saja. Ada juga orang yang menjadi guru karena sudah merupakan cita-citanya ingin menjadi guru.
Akan tetapi, terlepas dari pandangan guru sebagai profesi seperti pendapat Boediono tadi, sebagai manusia biasa guru tentunya memerlukan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi secara layak. Apalagi pada masa krisis sekarang ini, dimana harga-harga barang melonjak tinggi. Penghasilan menjadi guru kurang untuk mencukupi kebutuhan hidup secara layak. Dan dikhawatirkan banyak anak-anak, terutama anak-anak yang pintar, tidak mau menjadi guru. Hal ini berbahaya bagi pen-didikan Indonesia di masa mendatang.
4. Efisiensi
Masalah keempat yang dihadapi adalah masih rendahnya efisiensi pendidikan nasional. Rendahnya efisiensi pengelolaan pendidikan dapat dilihat dari : penyebaran guru yang tidak merata, terjadinya putus sekolah di semua jenjang pendidikan, bangunan fisik gedung sekolah yang cepat rusak dalam waktu yang pendek, jam belajar yang tidak efektif dan optimal, dan pengalokasian dana pendidikan yang tidak fleksibel. berat.
Masalah lain yang berkaitan dengan efisiensi adalah masalah masih rendahnya anggaran pen-didikan terhadap APBN. Sampai tahun 2000 pengalokasian anggaran pendidikan hanya sebesar 6,3 persen dari APBN, jauh lebih rendah dari Korea, Thailand, Malaysia, dan Singapura yang menganggarkan tidak kurang dari 20 persen dari APBN masing-masing. Padahal berdasarkan penilaian KKT Pem-bangunan Sosial di Kopenhagen pada 1995 menganjurkan agar anggaran sebesar 20 persen dari total APBN digunakan untuk pembangunan sosial serta 15 persen untuk pen-didikan. Sementara UNESCO me-nyarankan agar anggaran sektorpendidikan minimal 4 persen dari GDP.