Senin, 20 Januari 2014

Kajian Filsafat Umum dan Khusus

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Ketika berbicara pendidikan maka kita akan berbicara mengenai definisi pendidikan. Pendidikan merupakan aktivitas rasional yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Hewan juga “belajar” tetapi lebih ditentukan oleh instinknya. Manusia belajar dengan otaknya melalui rangkaian kegiatan menuju pendewasaan untuk mencapai kehidupan yang lebih berarti. Pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan manusia dan masyarakat bangsa tertentu. Karena itu diperlukan sejumlah landasan dan asas-asas tertentu dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan.
Kegunaan filsafat dalam pendidikan adalah berpikir secara mendalam bahkan jika perlu secara radikal untuk mencari sebuah kebenaran dalam arti pendidikan yang sesungguhnya. Pertanyaan yang timbul, yaitu: Apa dan bagaimana Filsafat Pendidikan itu “objek, dasar, dan implikasinya”?. Inilah yang sebenarnya harus kita ketahui. Menurut Al-Farabi, filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam wujud bagaimana hakikat sebenarnya. Ini menandakan bahwa setiap apa yang ingin kita ketahui berarti kita sedang berfilsafat terhadap suatu wujud atau objek. Begitu pula dengan pendidikan jika kita berpikir “Apasih pendidikan itu ? ” itu berarti kita sedang berfilsafat tentang eksistensi dari sebuah makna pendidikan.



B.    Rumusan Masalah

Memfilsafati sebuah pendidikan merupakan sebuah pembahasan yang terkait dengan Filsafat Ilmu Pendidikan. Hal inilah yang menjadikan penulis membuat rumusan masalah yang terkait dengan pembahasan antara lain sebagai berikut :
1.    Apakah filsafat itu ?
2.    Apa sajakah jenis dari filsafat itu ?
3.    Bagaimanakah cara kita mengetahui filsafat umum dan filsafat khusus ?
4.    Apakah manfaat serta implikasi dari filasafat umum dan filsafat khusus ?

C.    Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Mampu menjelaskan apa itu filsafat
2.    Mampu menjelaskan jenis dari filsafat
3.    Mampu mengetahui dan menjelaskan filsafat umum dan filsafat khusus
4.    Mampu menjelaskan manfaat serta implikasi dari filsafat umum dan filsafat khusus







                                                                                BAB II
                                                                      LANDASAN TEORI

1.    Menurut Plato (427 – 348 sm), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
2.    Menurut Aristoteles (382 – 322 sm), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung dalam ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika.
3.    Menurut Al Kindi (801 – ……m), filsafat adalah pengetahuan tentang realisasi segala sesuatu sejauh jangkauan kemampuan manusia.
4.    Menurut Al Farabi (870 – 950 m), filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam wujud bagaimana hakikat sebenarnya.
5.    Menurut Prof. H. Muhammad Yamin, filsafat adalah pemusatan pikiran, sehingga manusia menemui kepribadiannya. Di dalam kepribadiannya itu dialami sesungguhnya.










                                                                                        BAB III
                                                                                   PEMBAHASAN

1.    Pengertian Filsafat

Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa. Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.
Secara harfiah atau etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan dan kebenaran. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan katan majemuk dari Philia dan Sophia. Menurut Poedjawijatna filsafat berasal dari kata Arab yang erat hubungannya dengan bahasa Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani, yaitu philosophia, yang merupakan bentuk kata majemuk dari philo dan sophia. Philo berarti cinta atau keinginan dan karenanya berusaha untuk mencapai yang diinginkan itu. Sedangkan sophia berarti kebijakan (hikmah) atau kepandaian. Jadi filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kepandaian atau cinta pada kebijakan
 Plato mendefinisikan filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli (hakiki), dan kata Aristoteles filsafat adalah pengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika.





A.    Filsafat Umum dan Filsafat Khusus

Filsafat pendidikan bukanlah Filsafat Umum atau Filsafat Murni, tetapi Filsafat Khusus atau Filsafat Terapan. Apabila dilihat dari sudut karakteristik objeknya filsafat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Filsafat Umum atau Filsafat Murni.
2. Filsafat Khusus atau Filsafat Terapan.

Filsafat Umum mempunyai objek :
a.    Hakikat kenyataan segala sesuatu (Metafisika), yang termasuk
di dalamnya hakikat kenyataan secara keseluruhan (Ontologi), kenyataan tentang alam atau kosmos (Kosmologi), kenyataan tentang manusia (Humanologi), dan kenyataan tentang Tuhan (Teologi).
b.   Hakikat mengetahui kenyataan (Epistemologi),
c.   Hakikat menyusun kesimpulan pengetahuan tentang kenyataan
      (Logika), dan
d.  Hakikat menilai kenyataan (Aksiologi), antara lain tentang hakikat nilai
     yang berhubungan dengan baik dan jahat (Etika) serta nilai yang
     berhubungan dengan indah dan buruk (Estetika).

Cabang-cabang Filsafat Khusus antara lain :
a.    Filsafat Hukum, yang menyelidiki hukum sebagai suatu bentuk yang
sangat khas dari pengawasan sosial dalam sebuah masyarakat yang terorganisasi berdasarkan politik yang dianut.
b.    Filsafat Sejarah, yang menyelidiki metafisika sejarah yang berkenaan
dengan latar belakang, sebab dan hukum yang mendasar, makna dan motivasi perkembangan manusia sebagai makhluk sosial dalam batas-batas kausalitas psikofisik.
c.    Filsafat Seni, yang menyelidiki hakikat nilai estetis, yaitu nilai
keindahan yang terkandung dalam alam dan karya seni dalam segala bentuk dan maknanya.
d.    Filsafat Moral, menyelidiki makna tentang baik, yang berhubungan
dengan tujuan hidup, makna kewajiban yang berhubungan dengan hukum dan makna kewajiban yang berhubungan dengan kesetujuan dan ketidaksetujuan.
e.    Filsafat Sosial (politik dan ekonomi), menyelidiki masalah keberadaan
hubungan antara manusia dengan masyarakat, perangkat nilai-nilai asosiatif yang tertuju pada proses sosial yang terarah, kekuatan dan kekuasaan negara, pengawasan sosial yang berkenaan dengan hukum dan hak, kewajiban politik, dan keadilan.
f.    Filsafat Olahraga, yang menyelidiki hakikat olahraga aktif yang
berkenaan dengan seluk-beluk gerak yang dilakukan dalam olahraga, dan hakikat olahraga pasif.
g.    Filsafat Religi, yang menyelidiki religi sebagai hubungan dengan Tuhan dan hubungannya dengan pengalaman lainnya kebenaran, kepercayaan religius serta nilai, sikap dan perbuatan religius.
h.    Filsafat Logika, yang menyelidiki kebenaran, tata bahasa, lingkup dan
penyimpangan logika sebagai seni dan ilmu penalaran.
i.    Filsafat Ilmu, yang menyelidiki struktur ilmu, yaitu metode dan bentuk
pengetahuan ilmiah serta makna teoritis dan praktis dari ilmu.
j.    Filsafat Pendidikan, yang menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan
yang bersangkut paut dengan tujuan, latar belakang, cara, dan hasilnya, serta hakikat ilmu pendidikan, yang bersangkut paut dengan analsis kritis terhadap struktur dan kegunaannya.

B.    OBJEK DAN STATUS FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN

Sosok pendidikan yang dapat kita kenali dalam kehidupan manusia dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu:
1.      Praktik Pendidikan
2.      Ilmu Pendidikan sebagai salah satu bentuk teori sosial pendidikan
Oleh karena itu, ditinjau dari segi sosok filsafat pendidikan dalam arti luas dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a)    Filsafat Praktik Pendidikan adalah analsis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia.

b)    Filsafat Ilmu Pendidikan filsafat pendidikan adalah bagian yang tidak dipisahkan dar filsafat secara keseluruan, baik dalam system maupun metode.
Filsafat praktik pendidikan dibedakan menjadi :
1. Filsafat Proses Pendidikan, biasanya membahas tiga masalah pokok, yaitu:
a.    Apakah sebenarnya pendidikan itu
b.    Apakah tujuan pendidikan itu sebenarnya
c.    Dengan cara apakah tujuan pendidikan dapat dicapai

2.  Filsafat Sosial Pendidikan
Istilah Filsafat Sosial Pendidikan, antara lain dikemukakan oleh TW. Moore dalam Philosophy of Education yang dibataskan sebagai pembahasan hubungan antara penataan masyarakat manusia dengan pendidikan. Sehubungan dengan batasan tersebut, TW. Moore mengemukakan tiga masalah pokok yang dibahas dalam filsafat sosial pendidikan yaitu :
1)    Hakikat Kesamaan Manusia dan Pendidikan
2)    Hakikat kemerdekaan dan Pendidikan
3)    Hakikat Demokrasi dan Pendidikan
Thomas Hobbes membataskan filsafat sosial sebagai suatu teori umum tentang masyarakat manusia. Robert N. Beck dalam Hand-Book in Social Philosophy (1979), menyatakan bahwa filsafat sosial berkenaan dengan prinsip-prinsip yang mendasari prose sosial, baik dalam arti nyata maupun ideal.
Beck merumuskan enam masalah pokok yang dibahas dalam filsafat sosial, yaitu hakikat atau prinsip-prinsip :
1.      Hubungan manusia dengan masyarakat
2.      Nilai-nilai sosial dan politik
3.      Negara, kekuatan, dan kekuasaan
4.      Hukum dan hak
5.      Kewajiban politik
6.      Cita-cita keadilan
Menurut Smith, dewasa ini studi filosofis tentang ilmu pendidikan baru merupakan tingkat permulaan, yang diawali dengan analisis kritis terhadap konsep psikologi pendidikan, misalnya tentang teori belajar S-R, pengukuran pendidikan, prosedur sistematis tentang penyusunan kurikulum, dll.
Victor F. Lenzen dalam Philosophy Science yang dimuat dalam Living School of Philosophy (1962) merumuskan apa yang dimaksud dengan ilmu dan filsafat ilmu. Lenzen menyatakan, ilmu berarti suatu kegiatan kritis yang bertujuan menemukan, dan merupakan pengetahuan sitematis yang didasarkan pada kegiatan krisis tersebut. Masalah-masalah filsafat ilmu mencakup :
1. Struktur ilmu, yang meliputi metode dan bentuk pengetahuan ilmiah
2. Kegunaan ilmu bagi kepentingan praktis dan pengetahuan kenyataan
Apabila lebih dirinci lagi, maka objek filsafat ilmu pendidikan dapat dibedakan dalam empat macam yaitu:
a.    Ontologi ilmu pendidikan, yang membahas tentang hakikat subtansi
dan pola organisasi ilmu pendidikan.
b.    Epistemologi ilmu pendidikan, yang membahas tentang hakikat
objek fomal dan material ilmu pendidikan.
c.    Metodologi ilmu pendidikan, yang membahas tentang pendidikan
cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan.
d.    Aksiologi ilmu pendidikan, yang membahas tentang hakikat nilai
kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan.

C. Implikasi Filsafat Umum dan Filsafat Khusus
1. Implikasi Bagi Guru


Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru, maka filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu, semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan.
Selain itu, dikemukakan bahwa pendidik dan subjek didik melakukan pemanusiaan diri ketika mereka terlihat di dalam masyarakat profesional yang dinamakan pendidikan itu; hanyalah tahap proses pemanusiaan itu yang berbeda, apabila diantara keduanya, yaitu pendidik dan subjek didik, dilakukan perbandingan. Ini berarti kelebihan pengalaman, keterampilan dan wawasan yang dimiliki guru semata-mata bersifat kebetulan dan sementara, bukan hakiki. Oleh karena itu maka kedua belah pihak terutama harus melihat transaksi personal itu sebagai kesempatan belajar dan khusus untuk guru dan tenaga kependidikan, tertumpang juga tanggung jawab tambahan menyediakan serta mengatur kondisi untuk membelajarkan subjek didik, mengoptimalkan kesempatan bagi subjek didik untuk menemukan dirinya sendiri, untuk menjadi dirinya sendiri (Learning to Be, Faure dkk, 1982). Hanya individu-individu yang demikianlah yang mampu membentuk masyarakat belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi perubahan-perubahan yang semakin lama semakin laju tanpa kehilangan dirinya.
Apabila demikianlah keadaannya, maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formal hanya akan mampu menunaikan fungsinya serta tidak kehilangan hak hidupnya didalam masyarakat, kalau ia dapat menjadikan dirinya sebagai pusat pembudayaan, yaitu sebagai tempat bagi manusia untuk meningkatkan martabatnya. Dengan perkataan lain, sekolah harus menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan tenaga kerja, melaksanakan sosialisasi, membentuk penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah otak dan mengerjakan tugas-tugas persekolahan, tetapi yang paling hakiki adalah pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan martabat kemanusiaan seperti telah diutarakan di muka dengan menggunakan cipta, rasa, karsa dan karya yang dikembangkan dan dibina.
Perlu digaris bawahi di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentuk dan hakekat. Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu, maka gerakan ini hanya berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didikan melahirkan anarki sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.
2. Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan
Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena kita masih belum saja menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salah satu prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan luarnya bukan bangunan dasarnya.
Sebaiknya teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai didalam merancang serta mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan didalam konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaahan interpretatif, normative dan kritis itu, seperti telah diutarakan didalam bagian uraian dimuka, dirumuskan kedalam perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian di dalam menilai perancang dan implementasi program, maupun di dalam “mempertahankan” program dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan konseptual.
D.    Manfaat Mempelajari Filsafat Umum dan Khusus
 1.  filsafat menolong mendidik, membangun diri kita sendiri : dengan berpikir lebih mendalam, kita mengalami dan menyadari kerohanian kita, rahasia hidup yang kita selidiki justru memaksa kita untuk berpikir, untuk hdup dengan sesadar – sadarnya, dan memberikan isi kepada hidup kita sendiri.
2. filsafat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan – persoalan dalam kehidupan sehari – hari. Orang yang hidup secara dangkal saja, tidak mudah melihat parsoalan – persoalan, apalagi melihat pemecahannya. Dalam filsafat kita dilatih melihat dulu apa yang menjadi persolan, dan ini merupakan syarat mutlak untuk memecahkannya.
3.   filsafat memberikan pandangan yang luas, membendung akuisme dan aku sentrisme (dalam segala hal hanya melihat dan mementingkan kepentingan dan kesenangan si aku )
4.  filsafat merupakan latihan untuk berfikir sendiri, hingga kita tak hanya ikut – ikutan saja, membuntut pada pandangan umum, percaya akan setiap semboyan dalam surat – surat kabar, tetapi secara kritis menyelidiki apa yang dikemukakan orang, mempunyai pendapat sendiri, berdiri sendiri, dengan dengan cita-cita mencari kebenaran.
5. Filsafat memberikan dasar-dasar, baik untuk hidup kita sendiri(terutama dalam etika) maupun untuk ilmu-ilmu pengetahuan dan lainnya, seperti sosiologi, ilmu jiwa, ilmu mendidik, dan sebagainnya
Filsafat menggiring manusia kepengertian yang terang dan pemahaman yang jelas. Kemudian, filsafat itu juga menuntun manusia ketindakan dan perbuatan yang konkret berdasarkan pengertian yang terang dan pemahaman yang jelas.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa studi filsafat semakin menjadikan orang mampu untuk menangani pertanyaan mendasar manusia yang tidak terletak dalam wewenang metodis ilmu-ilmu khusus. Jadi filsafat membantu untuk mendalami pertanyaan-pertanyaan asasi manusia tentang realitas (filsafat teoritis) dan lingkup tanggung jawabnya (filsafat praktis). Kemampuan itu dipelajarinya dari luar jalur secara sisitematik dan secara historis.
Pertama secara sistematis. Artinya filsafat menawarkan metode-metode mutakhir untuk menangani masalah-masalah mendalam manusia, tentang hakikat kebenaran dan pengetahuan, baik biasa maupun ilmiah, tentang tanggung jawab, dan keadilan dan sebagainya.
Jalur kedua melalui jalur sejarah filsafat. Di situ orang belajar untuk mendalami, menanggapi, serta belajar dari jawaban-jawaban yang sampai sekarang ditawarkan oleh para pemikir dan filosof terkemuka terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Kemampuan ini memberikan sekurang-kurangnya tiga kemampuan yang memang sangat dibutuhkan oleh segenap orang yang dizaman sekarang harus atau mau memberikan pengarahan, bimbingan, dan kepemimpinan spiritual dan intelektual dalam masyarakat:

    Suatu pengertian lebih mendalam tentang manusia dan dunia. Dengan mempelajari pendekatan-pendekatan pokok terhadap pertanyaan-pertanyaan manusia paling hakiki, serta mendalami jawaban-jawaban yang diberikan oleh pemikir-pemikir besar umat manusia, wawasan dan pengertian kita sendiri diperluas.
    Pendasaran metodis dan wawasan lebih mendalam serta kritis dalam menjalani studi-studi di ilmu-ilmu khusus, termasuk teologi.

Dapat dikatakan bahwa filsafat sangat diperlukan oleh profesi-profesi seperti pendidik, pengarang, dan penerbit, budayawan, sosiolog, psikolog, ilmuwan politik, agamawan, termasuk ulama, pendeta, pastur,dan teolog.








                                                                                  BAB IV
                                                                            KESIMPULAN

Landasan filsafat pendidikan memberi perspektif filosofis yang seyogyanya merupakan “kacamata” yang dikenakan dalam memandang, menyikapi, serta melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, maka ia harus dibentuk bukan hanya mempelajari tentang filsafat, sejarah dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi dengan memadukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatannya kepada kerangka konseptual kependidikan. Selain itu, pendidikan dengan ilmu pendidikan perlu diterapkan kepada seluruh peserta didik, agar terciptanya SDM yang berkualitas, berakhlaq, berilmu, berbudi pekerti luhur, dan berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara.
   










                                                                       DAFTAR PUSTAKA

Mudyahardjo, Redja. 2010. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung : PT. Remaja
     Rosdakarya Bandung
Suriasumantri, S Jujun.
http://answers.yahoo.com/question/index?qid=20080816213852AAyIJ19
http://yuyunyupitapazbny.blogspot.com/2013/03/v-behaviorurldefaultvmlo.html







Kamis, 14 November 2013

“ Problematika Pendidikan di Indonesia”


Pendidikan merupakan sebuah dasar dimana setiap orang pasti akan merasakannya, walaupun bukan di tempat formal sekalipun. Sejatinya pendidikan memiliki sebuah makna sangat dalam yaitu “memanusiakan manusia secara utuh, sebagai sebuah langkah menciptakan generasi perubahan yang berjiwa jujur, bijak, bermoral dan bertanggung jawab. Pendidikan bertujuan sebagai sebuah dasar dimana seorang anak memiliki pengetahuan akan arah kemana hidupnya melangkah. Selain itu pendidikan juga bertujuan menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan di masa depan. Hal ini terjadi akibat tuntutan zaman yang hadir dalam kehidupan.
Selain itu, tujuan pendidikan yang paling penting bukan hanya dalam hal pembangunan melainkan juga kearifan moral yang dimiliki oleh manusia. Karena manusia yang utuh adalah manusia yang bermoral. Apa artinya pembangunan tanpa adanya moral dalam diri manusia. Jika dalam pendidikan moral tidak diajarkan dan tidak dipahami oleh setiap insan, maka akan lahirlah manusia-manusia yang ahli dalam membangun namun memiliki hati yang keji dan selalu mementingkan diri sendiri. Dan hal yang akan terjadi adalah terciptanya pribadi yang berhati kotor, menghalalkan segala cara hanya demi hedonisme dunia yang semu seperti:  korupsi, kolusi, nepotisme, muncul kesenjangan sosial, bahkan bila terus-menerus dibiarkan maka akan terjadi kapitalisme dan sikap liberalisme. Hal yang demikian inilah mengapa pendidikan diperlukan.
Demikian pula dengan masalah pendidikan di Indonesia mulai dari kurangnya sarana dan prasarana sekolah, tenaga pengajar yang kurang profesional, dan berbagai hal lain yang masih menjadi persoalan masalah pendidikan di Indonesia yang tak pernah rampung. Adanya hal seperti ini memang menjadi prioritas pemerintah sebagai seorang pemimpin, pemerintah memang tak  tinggal diam mulai dari pembaharuan kurikulum yang masih simpang siur, pembekalan tenaga profesional hingga hal lainnya. Namun, problematika ini seakan hanya seperti layangan yang di tarik ulur tanpa ada kepastian dan titik temu dari permasalahan pendidikan. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang menjadikan pendidikan di Indonesia tak pernah memperlihatkan titik temu, diantaranya adalah ;

1.    Pemerataan Kesempatan Pendidikan

Masalah pertama pendidikan Indonesia adalah kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan.  Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar.   Data  Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam (Binbaga) Departemen Agama tahun 2000 me-nunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.    Kegagalan pem-binaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

2.    Relevansi Pendidikan

Masalah kedua dalam dunia pendidikan Indonesia adalah ren-dahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan.  Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur.  Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%.  Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.  Adanya ketidakserasian antara hasil pen-didikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. 

3.    Mutu Pendidikan
Masalah ketiga yang dihadapi pendidikan nasional adalah rendahnya mutu pendidikan.  Indikator rendahnya mutu pendidikan nasional dapat dilihat pada prestasi siswa.  Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah.  Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).  Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memer-lukan penalaran.  Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.  Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika.  Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik  di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
Indikator lain yang menunjukkan betapa rendahnya mutu pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun.  Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 pada tahun 1996, ke-99 tahun 1997, ke-105 tahun 1998,  dan ke-109 tahun 1999.  Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia.
Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum, Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvai di dunia.  Dan masih me-nurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Rendahnya mutu pendidikan Indonesia terkait dengan kualitas guru dan pengajar yang masih rendah juga.  Data Balitbang Dep-diknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas.  Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas.  Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas.  Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).  Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pen-didikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pen-didikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
Arif Rahman (pakar pendidikan) menyatakan bahwa penghasilan sebagai guru Indonesia sangatlah rendah, bahkan, tambahnya, gaji guru lebih rendah dari penghasilan sebagai seorang supir.  Pendapat tersebut didukung pula oleh Anwar Arifin (Wakil ketua Komisi VI DPR-RI) yang menekankan perlunya peningkatan kesejahteraan guru.
Pendapat yang agak berbeda disampaikan oleh Boediono, Kepala Balitbang Depdiknas, yang mengungkapkan bahwa dalam hal peningkatan kesejahteraan guru hendaknya jangan hanya dilihat dari satu sisi saja.  Menurutnya guru itu dapat dipandang dari dua sisi yaitu sebagai buruh dan guru sebagai profesi.  Katanya, “Mengenai guru sebagai tenaga kerja, guru itu buruh, dan untuk itu memang tingkat kesejahteraannya harus dinaikkan.” Tapi masih menurutnya bahwa tidak semua orang yang menjadi guru itu hanya bermotivasi pada uang penghasilan saja.  Ada juga orang yang menjadi guru karena sudah merupakan cita-citanya ingin menjadi guru.
Akan tetapi, terlepas dari pandangan guru sebagai profesi seperti pendapat Boediono tadi, sebagai manusia biasa guru tentunya memerlukan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi secara layak.  Apalagi pada masa krisis sekarang ini, dimana harga-harga barang melonjak tinggi.  Penghasilan menjadi guru kurang untuk mencukupi kebutuhan hidup  secara layak.  Dan dikhawatirkan banyak anak-anak, terutama anak-anak yang pintar, tidak mau menjadi guru.  Hal ini berbahaya bagi pen-didikan Indonesia di masa mendatang. 

4.    Efisiensi

Masalah keempat yang dihadapi adalah masih rendahnya efisiensi pendidikan nasional.  Rendahnya efisiensi pengelolaan pendidikan dapat dilihat dari : penyebaran guru yang tidak merata, terjadinya putus sekolah di semua jenjang pendidikan, bangunan fisik gedung sekolah yang cepat rusak dalam waktu yang pendek, jam belajar yang tidak efektif dan optimal, dan pengalokasian dana pendidikan yang tidak fleksibel.  berat.
Masalah lain yang berkaitan dengan efisiensi adalah masalah masih rendahnya anggaran pen-didikan terhadap APBN.  Sampai tahun 2000 pengalokasian anggaran pendidikan hanya sebesar 6,3 persen dari APBN, jauh lebih rendah dari Korea, Thailand, Malaysia, dan Singapura yang menganggarkan tidak kurang dari 20 persen dari APBN masing-masing.  Padahal berdasarkan penilaian KKT Pem-bangunan Sosial di Kopenhagen pada 1995 menganjurkan agar anggaran sebesar 20 persen dari total APBN digunakan untuk pembangunan sosial serta 15 persen untuk pen-didikan.  Sementara UNESCO me-nyarankan agar anggaran sektorpendidikan minimal 4 persen dari GDP.

Jumat, 18 Oktober 2013

“Tarik Ulur Masalah Pendidikan di Indonesia yang Tak Pernah Rampung”

Pendidikan merupakan sebuah dasar dimana setiap orang pasti akan merasakannya, walaupun bukan di tempat formal sekalipun. Sejatinya pendidikan memiliki sebuah makna sangat dalam yaitu “memanusiakan manusia secara utuh, sebagai sebuah langkah menciptakan generasi perubahan yang berjiwa jujur, bijak, bermoral dan bertanggung jawab. Pendidikan bertujuan sebagai sebuah dasar dimana seorang anak memiliki pengetahuan akan arah kemana hidupnya melangkah. Selain itu pendidikan juga bertujuan menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan di masa depan. Hal ini terjadi akibat tuntutan zaman yang hadir dalam kehidupan.
Selain itu, tujuan pendidikan yang paling penting bukan hanya dalam hal pembangunan melainkan juga kearifan moral yang dimiliki oleh manusia. Karena manusia yang utuh adalah manusia yang bermoral. Apa artinya pembangunan tanpa adanya moral dalam diri manusia. Jika dalam pendidikan moral tidak diajarkan dan tidak dipahami oleh setiap insan, maka akan lahirlah manusia-manusia yang ahli dalam membangun namun memiliki hati yang keji dan selalu mementingkan diri sendiri. Dan hal yang akan terjadi adalah terciptanya pribadi yang berhati kotor, menghalalkan segala cara hanya demi hedonisme dunia yang semu seperti:  korupsi, kolusi, nepotisme, muncul kesenjangan sosial, bahkan bila terus-menerus dibiarkan maka akan terjadi kapitalisme dan sikap liberalisme. Hal yang demikian inilah mengapa pendidikan diperlukan.
Demikian pula dengan masalah pendidikan di Indonesia mulai dari kurangnya sarana dan prasarana sekolah, tenaga pengajar yang kurang profesional, dan berbagai hal lain yang masih menjadi persoalan masalah pendidikan di Indonesia yang tak pernah rampung. Adanya hal seperti ini memang menjadi prioritas pemerintah sebagai seorang pemimpin, pemerintah memang tak  tinggal diam mulai dari pembaharuan kurikulum yang masih simpang siur, pebekalan tenaga profesional hingga hal lainnya. Namun, problematika ini seakan hanya seperti layangan yang di tarik ulur tanpa ada kepastian dan titik temu dari permasalahan pendidikan. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang menjadikan pendidikan di Indonesia tak pernah memperlihatkan titik temu, diantaranya adalah ;

1.    Masalah Kurikulum
 
Kurikulum kita yang dalam jangka waktu singkat selalu berubah-ubah tanpa ada hasil yang maksimal dan masih tetap saja. Yang jelas, menteri pendidikan berusaha eksis dalam mengujicobakan formula pendidikan baru dengan mengubah kurikulum. Perubahan kurikulum yang terus-menerus, pada pratiknya kita tidak tau apa maksudnya dan yang beda hanya bukunya. Contohnya guru, banyak guru honorer yang masih susah payah mencukupi kebutuhannya sendiri. Kegagalan dalam kurikulum kita juga disebabkan oleh kurangnya pelatihan skill, kurangnya sosialisasi dan pembinaan terhadap kurikulum baru. Elemen dasar ini lah yang menentukan keberhasilan pendidikan yang kita tempuh.

2.    Masalah Biaya 

Banyak masyarakat yang memiliki persepsi pendidikan itu mahal dan lebih parahnya banyak pula pejabat pendidikan yang ngomong, kalau pengen pendidikan yang berkualitas konsekuensinya harus membayar mahal. Pendidikan sekarang ini seperti diperjual-belikan bagi kalangan kapitalis pendidikan dan pemerintah sendiri seolah membiarkan saja dan lepas tangan. Apa mereka sudah mengenyam pendidikan? Akhir-akhir ini pemerintah dalam sistem pendidikan yang baru akan membagi pendidikan menjadi dua jalur besar, yaitu jalur formal standar dan jalur formal mandiri. Pembagian jalur ini berdasarkan perbedaan kemampuan akademik dan finansial siswa. Ironis sekali bila kebijakan ini benar-benar terjadi.
   
3.    Masalah Tujuan pendidikan

Bicara kalau pendidikan itu mencerdaskan, tapi kenyataannya pendidikan itu menyesatkan. Lihat saja kualitas pendidikan kita hanya diukur dari ijazah yang kita dapat. Padahal sekarang ini banyak ijazah yang dijual dengan mudahnya dan banyak pula yang membelinya untuk kepentingannya sendiri dengan mindset  kenikmatan hedonisme yang semu.

4.    Masalah Disahkannya RUU BHP menjadi Undang- Undang 

DPR RI telah mensahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) menjadi Undang-Undang. Namun, disahkannya UU BHP ini banyak menuai protes dari kalangan mahasiswa yang khawatir akan terjadinya komersialisasi dan liberalisasi terhadap dunia pendidikan. Segala aspirasi dan masukan, sudah disampaikan kepada Pansus. RUU BHP. UU BHP ini akan menjadi kerangka besar penataan organisasi pendidikan dalam jangka panjang.

5.    Masalah Kontroversi diselenggaraknnya UN

UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik. Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN.

Masalah-masalah di atas merupakan hal yang sampai saat ini belum menemui titik temu pemecahan masalah yang konkrit dalam pendidikan di Indonesia. Oleh karena itulah, kenapa pendidikan di Indonesia hanya seperti tarik ulur dalam bermain layangan tidak menemui titik kerampungan yang jelas. Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai.
Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan adanya kondisi tersebut, bila tetap  tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada.
Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin.
Referensi;
http://www.artikelbagus.com/2012/12/masalah-pendidikan.html#ixzz2htssbX4f
the filsuf of arin

Kegalauan Globalisasi Positif ataukah Negatif ?


1.    Pengertian Globalisasi
Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi dapat dirasakan oleh masyarakat umum baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan lain sebagainya. Dampak globalisasi ini terjadi karena adanyanya perkembangan zaman yang kian hari kian merambak. Kehadiran globalisasi tentunya membawa sebuah dampak bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Dampak tersebut meliputi dua sisi yaitu dampak positif dan dampak negatif. Hal inilah yang akan menjadi problematika mengenai nasionalisme bangsa Indonesia.
Salah satu faktor pendukung utama globalisasi adalah jelas dengan berkembangnya kemajuan ilmu pengetahuan dan  teknologi informasi. Dengan berkembangnya teknologi dan informasi akses akan segala hal yang dibutuhkan oleh masyarakat semakin cepat dan mudah. Oleh karena itulah, globlalisasi tidak dapat kita hindari. Globalisasi merupakan sebuah sistem yang menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga banyak orang yang terjerumus dalam sikap “terserah saya” hal ini menjadikan timbulnya sikap tidak peduli dan cuek terhadap orang lain.
2.    Sebab dari Timbulnya Globalisasi

a.    Kebijakan negara untuk berhubungan dan menjalin kerja sama dengan negara lain.
Dengan adanya kebijakan seperti ini secara tidak langsung globalisasi masuk dalam bidang ekonomi di Indonesia. Contohnya : kerjasama APEC

b.    Faktor masuknya nilai budaya luar yang datang ke indonesia secara tidak langsung menggerus nilai-nilai kemurnian pancasila.
Ambilah saja sebuah contoh kebudayaan K-POP yang marak dan melenakan remaja indonesia khususnya kaum hawa dewasa ini. Baik dalam cara berpakaian, kebudayaan, cara bersikap dan kesopanan.


c.    Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan kemudahan dalam bidang teknologi dan informasi.
Tidak dapat dipungkiri kecanggihan TIK menjadi salah satu aspek masuknya globalisasi. Contohnya saja maraknya jejaring sosial yang muncul dan menjadikan remaja khususnya remaja indonesia selalu menggunakan jejaring sosial itu setiap hari dalam meng-up date apapun yang dialaminya.

d.    Berkembang pesatnya perusahaan-perusahaan transnasional.
Perusahaan transnasional adalah perusahaan yang memproduksi barang atau jasa lebih dari satu negara.

3.    Akibat atau Dampak dari Globalisasi
Berbagai hal yang timbul akibat pengaruh globalisasi tentu saja menimbulkan dampak dan memberikan sumbangsih besar dalam pola kehidupan khususnya bagi bangsa Indonesia. Dampak yang timbul dalam globalisasi dapat dilihat dari dua sisi yaitu dampak positif dan negatif dan diantaranya adalah sebagai berikut :
a.    Dampak Positif Globalisasi

1)    Ditinjau dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.

2)    Ditinjau dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.

3)    Ditinjau dari aspek globalisasi sosial budaya, kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa.

b.    Dampak Negatif Globalisasi

1)    Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tersebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang.

2)    Ditinjau globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.

3)    Anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.

4)    Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.

5)    Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.


Jika dilihat dari dampak positif dan negatifnya yang ditimbulkan ternyata, lebih banyak dampak negatif yang terjadi akibat berkembangnya globalisasi. Hal inilah yang akan menimbulkan problematika dan kegalauan terhadap kehidupan nasionalisme bangsa khususnya Indonesia. Globalisasi yang sejatinya menjadi pencerah dalam kehidupan ekonomi, politik dan sosial-budaya justru malah membuat tergerusnya kemurnian nilai-nilai pancasila akibat salahnya interpretasi yang di implementasikan oleh pemerintah dan masyarakat yang lebih menjadikan liberalisme dan barat sebagai kiblat.
Globalisasi yang berlandaskan liberalisme menjadikan Indonesia mudah terjerumus dan teriming-imingi kenikmatan semu yang di dengar dari pendapat negara lain yang notabennya memang menganut paham liberalisme. Dalam hal ini pemerintah dan masyarakat seharusnya dapat mengkaji dan menyaring tindakan-tindakan yang lebih bijak agar tidak mudah terjerumus dalam kenikmatan semu globalisasi. Pemerintah jangan hanya manut ketika diajak bekerja sama dengan asing hanya karena keuntungan yang besar, cara yang lebih bijak adalah memverifikasi terlebih dahulu positif dan negatif yang akan terjadi jika kerja sama dilakukan. Jangan ketika kerja sama berlangsung masyarakat Indonesia merasa dirugikan akan sumber daya alam yang di eksploitasi oleh asing dan menjadikan bangsa yang kaya ini malah hanya menjadi penonton bahkan pecundang ketika sumber daya alamnya di keruk oleh negara lain.
Referensi  
Jamli, Edison dkk.Kewarganegaraan.2005.Jakarta: Bumi Akasara
Krsna @Yahoo.com. Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.2005.internet:Public Jurnal
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews